socmed

Wednesday, October 31, 2012

Tantangan Orang Tua: Apakah Anak Harus Pintar di Sekolah?

Sudah lama saya ingin sekali menulis tentang ini. Tulisan ini diilhami dari pengalaman yang ada di sekitar, baik pengalaman sendiri maupun orang lain, yang saya lihat sendiri ataupun saya baca di tulisan-tulisan.

Keinginan itu semakin kuat ketika beberapa hari yang lalu di salah satu acara talkshow di televisi, host-nya mengatakan sesuatu yang saya harus setuju. Katanya kurang lebih begini "Apakah anak kita harus pintar di sekolah seperti gurunya yang mengajarkan? Untuk pelajaran matematika memang guru matematika menguasai. Tapi coba guru matematika kita suruh mengajar bahasa, belum tentu bisa bukan? Begitu juga dengan anak kita. Guru saja hanya menguasai pelajaran tertentu yang menjadi bidang ilmunya. Lalu bagaimana bisa kita mengharapkan anak kita pintar dan menguasai semua pelajaran yang didapatkannya di sekolah?"  *iya ya, betul juga..

Itu belum semua. Masih ada lagi, "Kalau anak kita kurang bisa pelajaran matematika tapi sangat suka dan bagus dalam bidang seni rupa. Biasanya kita cenderung me-les-kan anak kita matematika, tapi yang nilainya sudah bagus ditinggalkan." *yang ini juga sering terjadi..

Image courtesy of David Castillo Dominici at FreeDigitalPhotos.net
"Aduh naaak, belajar dong! Gimana sih, masak soal kayak gini gampangnya kamu nggak bisa ngerjainnya?"

Terus terang saya sudah sangat bersyukur ketika akhirnya anak pertama saya diterima di sekolahnya yang sekarang. Pada waktu wawancara dengan orang tua, gurunya sudah mengatakan bahwa sekolah tersebut beban pelajarannya cukup berat, dan meminta kerjasama orang tua dalam membimbing anaknya belajar agar anak tetap bersemangat bersekolah. Oke, dalam hati saya sanggupi, satu yang saya inginkan adalah anak saya mendapatkan pendidikan yang baik di sekolah ini, dan dia tetap bersemangat. 

Tantangan pertama: anak saya termasuk introvert dan susah berteman. Dulu saja waktu di playgroup harus sampai beberapa bulan ditunggui di sekolah tiap hari. Untung saja kemudian ada anak tetangga yang ikut sekolah di sana, kebetulan anaknya pemberani, sehingga tidak mau ditunggui. Alhamdulillah, anak saya akhirnya mau ditinggal. Aduh, bagaimana ya nanti di SD? Saya sudah membayangkan bahwa anak saya akan kesulitan menyesuaikan diri. Berdoa.. Terus berdoa, semoga Allah SWT memudahkan langkah anak saya. Nah di SD-nya ini, kebetulan sahabatnya waktu TK juga diterima di sekolah yang sama, dan di kelas yang sama juga. Sebuah keuntungan besar bagi saya, tidak perlu menungguinya di hari-hari pertama, walaupun sekolah memberikan kesempatan selama 1 minggu pertama. Dan saat ini dia juga sudah mau berteman dengan anak-anak lain yang sekelas, bahkan juga yang beda kelas. Satu tantangan terlewati..

Tantangan kedua: menjaga semangat anak dalam mengerjakan tugas PR dan belajar. Tidak semua sekolah mengadakan PR, saya tahu. Ada sekolah yang mengunggulkan sistem bahwa anak hanya belajar di sekolah saja, di rumah mereka bebas bermain. Ya, tapi sekolah anak saya tidak. Daripada berdebat tentang sistem ini dan itu, saya berusaha menjalani saja apa yang ada di depan mata. Anak saya belum genap 7 tahun, dia masih suka sekali bermain, apalagi sejak dia bisa naik sepeda. Tiap siang sampai sore selalu dihabiskannya dengan main sepeda. Tugas saya sebagai orang tua tentunya mengingatkan dia akan tanggung jawabnya belajar dan mengerjakan PR. Itu pun saya harus sangat berhati-hati karena takut dia merasa terpaksa dalam mengerjakannya. Yang saya lakukan adalah biasanya bertanya, "Mbak, ada PR nggak? Sudah dikerjakan belum?" Dan saya sengaja tidak menungguinya kalau tidak diminta, karena saya kuatir dia akan merasa terintimidasi. Paling kalau sudah selesai dia akan menunjukkan hasilnya, dan saya cek kalau ada kesalahan. Untuk belajar, biasanya saya sempatkan cek buku-buku pelajaran sekolahnya, dan ikut mempelajari materinya (sambil lalu tentunya, hehe). Dalam kesempatan tertentu, materi-materi tersebut saya angkat dengan pertanyaan sederhana. Kecuali ketika akan UTS kemarin, memang secara khusus saya mengajak anak saya mengingat-ingat pelajaran yang sudah diberikan. Sesantai mungkin, sesederhana mungkin..

Itu baru dua, masih banyak lagi tantangan lain.. Dan tekad saya, jangan sampai anak saya yang harus merasakan bebannya..

Saya hanya menerapkan apa yang selama ini saya dapatkan dari orang tua saya. Ketika SD dulu, tidak pernah sekali pun saya disuruh belajar atau mengerjakan PR. Namun dengan begitu saya justru merasa diberi tanggung jawab untuk memutuskan sendiri, mau belajar atau tidak, mengerjakan PR atau tidak. Hasilnya justru membentuk sendiri semangat belajar saya, yang saya bawa sampai lulus pendidikan tertinggi saya. Bahkan ketika SMA kelas 3, ranking saya di kelas pernah jeblok. Padahal nilai saya tidak buruk, hanya mungkin teman-teman saya banyak yang nilainya lebih baik. Apa yang dikatakan orang tua saya? "Ooh, itu berarti kamu terlalu keras belajarnya. Coba lebih santai dan jangan terlalu tegang. Walaupun kamu sudah mau ujian, bukan berarti kamu harus terus-terusan belajar kan?". Akhirnya saya turuti nasihat orang tua saya, hehe.. Nasihat yang aneh, tapi benar juga untuk situasi saya pada saat itu.

Namun mengingat beban dan situasi yang sudah berbeda dari jaman saya dulu dengan jaman anak saya sekarang, tentunya kita sebagai orang tua harus lebih bijak dalam membimbing anak belajar. Tentunya tidak bisa saya sepenuhnya melepas anak saya, mengharapkan dia mau belajar sendiri dan membentuk semangatnya sendiri. Tetapi, saya tidak mau memaksa bahwa anak saya harus jadi yang paling pintar di antara teman-temannya. Apalagi yang hanya diukur dari nilai ulangan. Ada orangtua yang menginginkan anaknya mendapat nilai terbaik di sekolah, sampai-sampai merasa kecewa dan memarahi anaknya ketika mendapat nilai jelek. Itu hal yang ingin saya buang jauh-jauh.  

belum sampai bu, aku masih kecil..
Perjalananmu di dunia pendidikan masih panjang nak.Ibu tidak mau memaksamu untuk jadi anak yang pintar dan mendapat nilai sempurna untuk semua mata pelajaran. Bukan itu tujuan Ibu menyekolahkanmu. Belajarlah dengan gembira. 


Monday, August 6, 2012

Refleksi 67 Tahun Indonesia Merdeka : Mengatasi Pendidikan Mahal










Image: FreeDigitalPhotos.net

Tidak terasa, tanggal 17 Agustus tahun ini, sudah 67 tahun Indonesia merdeka. Tetapi apakah kita benar-benar sudah merdeka, tetap menjadi pertanyaan retoris.
Bagaimana tidak? Merdeka kok apa-apa tidak terbeli. Mulai dari bahan pangan yang harganya semakin mahal dari hari ke hari, sampai pendidikan yang merupakan kewajiban orangtua untuk melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas di masa depan. Ya, hal itulah yang seringkali jadi beban untuk para orangtua jaman sekarang. Sekolah mahal. Apalagi pendidikan tinggi.

Jika dirunut lebih lanjut, tugas kita sebagai orangtua adalah untuk mendidik anak kita agar mereka nantinya bisa mandiri, dan menjadi orangtua yang baik kemudian kembali mendidik anaknya kelak. Jika sekarang saja pendidikan sudah mahal, apalagi nanti untuk cucu cicit kita. Sementara di sisi lain, banyak kita lihat sekarang sarjana yang kesulitan untuk mencari pekerjaan. Lalu untuk apa ya sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya hanya akan menambah jumlah pengangguran?

Saya jadi teringat dengan obrolan dengan seorang teman pada waktu kuliah dulu. Pada saat itu di kampus sedang ada program Student Exchange, dan teman saya itu berasal dari Norwegia. Dia menceritakan tentang sistem pembiayaan pendidikan di negaranya, yaitu bahwa pemerintahnya menyediakan semacam pinjaman lunak untuk yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Pinjaman tersebut dikembalikan secara bertahap setelah yang bersangkutan sudah bekerja. Hal itu dilakukan, karena disana biaya kuliah sangatlah mahal, dan tidak semua mampu. Sedari awal biasanya anak sudah memiliki gambaran tentang cita-cita mereka, sehingga kalau kemampuannya (finansial) terbatas dan dia sudah memiliki minat tertentu, maka dia akan memilih sekolah kejuruan agar nantinya dia bisa membuka usaha atau bekerja di bidang yang sesuai minatnya tersebut. Mungkin konsep ini sudah diterapkan di banyak negara, hanya kebetulan saja saya mendengar sendiri dari teman saya tentang negaranya.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Yah, kalau kita hanya mengeluh saja, masalah tidak akan selesai. Harus ada tindakan nyata yang bisa menjadi solusi bagi permasalahan mahalnya biaya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Saat ini yang sudah banyak dilakukan adalah pemberian beasiswa kepada anak-anak yang berprestasi tetapi kurang mampu. Banyak pihak, mulai dari pemerintah sampai swasta, yang sudah memiliki program ini. Program yang menyertai beasiswa pun semakin lama semakin berkembang, mulai dari beasiswa plus kegiatan pengembangan diri, beasiswa plus jaminan diterima kerja di perusahaan tersebut, beasiswa plus aktivitas sosial di masyarakat, dan sebagainya.

Di tengah program-program tersebut, saya menemukan sebuah konsep menarik pemberian beasiswa, yang dilakukan oleh Koperasi Siswa Bangsa. Hampir sama dengan cerita teman saya dari Norwegia, mereka menerapkan sistem Dana Siswa Bangsa, seperti yang saya kutip dari website mereka:

Merupakan solusi pembiayaan pendidikan bagi siswa-siswi dengan nilai akademis dan karakter berkualitas yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi tanpa membebani keluarga. Dikelola oleh Koperasi Siswa Bangsa atas inisiatif dari Putera Sampoerna Foundation yang telah berpengalaman dan terpercaya dalam dunia pendidikan, Dana Siswa Bangsa membantu siswa mendapatkan akses pendidikan berkualitas di Indonesia maupun di luar negeri. Proses pengembalian pinjaman dilakukan setelah siswa lulus kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan. Lamanya pembayaran berbeda untuk setiap individual karena tergantung daripada besarnya jumlah pinjaman.

Dana Siswa Bangsa juga menyediakan pinjaman untuk tunjangan hidup selama masa kuliah serta memberikan fasilitas bimbingan dan pengembangan karir agar bisa menjadi calon pemimpin bangsa yang pragmatis dan berkarakter.

Menarik bukan? Sungguh, tadinya saya tidak membayangkan kalau program seperti ini bisa diterapkan di Indonesia, karena harus ada pihak yang benar-benar memiliki inisiatif dan tekad kuat untuk bisa mewujudkannya. Mudah-mudahan program ini segera diikuti oleh pihak-pihak lain agar semakin banyak lagi anak yang bisa menyelesaikan pendidikan tinggi dengan dibekali pengetahuan yang cukup untuk bisa meraih masa depan yang lebih baik untuk Indonesia.

Amin...

Sumber: siswabangsa.org

Wednesday, July 25, 2012

Mengajak Anak Puasa



Alhamdulillah, tahun ini dipertemukan kembali dengan Bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah bagi seluruh umat Muslim. Pada bulan ini pastinya umat Muslim berlomba-lomba memperbanyak ibadah agar mendapat manfaat sebesar-besarnya dari keberkahan yang sudah dijanjikan oleh ALlah SWT.

Bagi yang sudah dewasa dan berakal, pasti bisa mengukur kemampuannya sendiri. Tetapi bagaimana dengan anak-anak, kapan sebaiknya mereka diajari untuk berpuasa dan bagaimana caranya? Ada beberapa tips yang bisa dilaksanakan (dan sudah saya praktekkan juga :) )

1. Memberikan contoh kepada anak

Inilah yang paling penting. Anak adalah cerminan dari orang tua. Jadi, kalau kita ingin anak kita berbuat baik, maka kita harus membiasakan diri kita berbuat baik dulu. Demikian juga dengan puasa, kalau orangtuanya saja ogah-ogahan dalam menjalankan, jangan harap anak akan mau puasa dengan ikhlas. So, berpuasalah dengan sebaik-baik puasa, tunjukkan bahwa puasa itu menyenangkan dan merupakan bagian dari kewajiban kita dalam menjalankan agama dengan baik.

2. Memberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dipahami

Anak yang mulai kritis pasti akan bertanya, mengapa kita harus puasa? Jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak. Memang baik menjelaskan dalil-dalil agama sebagai dasar perintah puasa, tapi sampaikanlah dengan bahasa mereka, pastikan bahwa mereka benar-benar memahami apa yang kita berikan. Yah, itulah tantangan orang tua jaman sekarang, hehe.. tapi yang jelas pastikan bahwa sesederhana apapun informasi yang anda sampaikan, jangan sedikitpun berbohong.

3. Memastikan usia anak sudah siap

Kapan sebaiknya mengajak anak puasa? Menurut pengalaman, anak-anak usia SD (6-7 tahun) sudah mulai bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak secara normatif. Itulah usia ideal untuk mulai mengajak anak melaksanakan puasa. Usia dibawah itu tergantung kematangan psikis anak, karena tiap anak berbeda, dan orang tua masing-masing lebih tahu. Namun lebih dari usia itu rasanya terlambat, karena anak akan segera memasuki pra remaja. Seperti kita tahu, kewajiban puasa mulai berlaku untuk mereka yang sudah akil balig (sekitar 12 tahun). Ketika mulai belajar, tentunya tidak mungkin memaksakan anak puasa penuh, pasti harus bertahap sampai mereka benar-benar bisa. Untuk itu perlu beberapa tahun (atau beberapa kali Ramadhan) sampai mereka siap.

4. Mengikuti kegiatan-kegiatan bermanfaat

Di bulan Ramadhan, pasti akan marak kegiatan-kegiatan yang bisa diikuti, mulai dari TPA, pesantren, dan sebagainya. Libatkan anak dengan suasana tersebut, tetapi jaga jangan sampai mereka terpaksa. Pilih tempat yang menyenangkan dan sesuai keinginan mereka. Misalnya, mereka lebih suka TPA di tempat yang lebih jauh karena teman-temannya juga ada di sana. Ikuti saja, walaupun resikonya kita harus menyediakan waktu lebih untuk antar jemput. Singkat kata, jadikan semua itu dari keinginan mereka sendiri sehingga mereka ikhlas menjalaninya.

5. Mengatasi anak rewel karena puasa

Bisa dipastikan, pada awal belajar puasa anak pasti rewel. Ketika bangun sahur sulit, kemudian ketika puasa masih jam 10 sudah lapar atau haus, misalnya. Itu hal yang biasa, tetapi jangan langsung membiarkan mereka berbuka. Alihkan perhatian kepada hal-hal yang bisa membuat mereka terlibat, misalnya membuat handycraft, permainan, membaca buku cerita, dan sebagainya. Ketika sahur, sejak hari sebelumnya tanyakan kepada mereka, makanan apa yang mereka mau untuk sahur, dan bagaimana cara membangunkan sahur yang mereka inginkan. Laksanakan apa yang mereka inginkan ketika membangunkan untuk sahur.

6. Jangan menjanjikan hadiah

Ada orangtua yang menjanjikan anak hadiah karena mau puasa, ada yang berupa uang atau barang. Sebaiknya dihindarkan, sebisa mungkin tanamkan sejak dini bahwa yang akan memberi mereka hadiah adalah Allah SWT atas puasa yang mereka jalankan. Hal ini penting, karena apa yang kita ajarkan sejak dini itulah yang akan tertanam di benak mereka hingga dewasa. Berikan saja pujian yang tulus.

Itu beberapa tips yang bisa diterapkan, semoga bermanfaat..