socmed

Tuesday, February 26, 2008

Preseden

precedent —n. previous case etc. taken as a guide for subsequent cases or as a justification. —adj. preceding in time, order, importance, etc. [French: related to *precede]

Pocket Oxford Dictionary, 1994



“Mbak, lagu Indonesia sekarang udah banyak yang bagus ya.. dulu kan aku ga suka lagu Indonesia, tapi sekarang aku banyak yang suka..”

Itulah kalimat yang kudengar dari adikku yang duduk di kelas 3 SMA, yang aku tau dulu emang anti banget sama lagu-lagu Indonesia. Waktu SD aja sukanya sama The Beatles, hehe… Akhir-akhir ini memang aku liat udah banyak lagu Indonesia di koleksi MP3nya.

Pendapatnya menimbulkan pertanyaan di benakku. Memang, adikku bukan pakar musik yang berhak menilai bagus apa enggaknya musik Indonesia, tapi paling tidak pasti ada sesuatu yang berubah, entah selera adikku yang bergeser atau musik Indonesianya yang jadi lebih bagus. Pertanyaannya: musik Indonesia memang jadi lebih bagus atau jadi lebih mirip dengan musik impor?

Nah. Masalah mirip memirip ini udah jadi fenomena dari jaman dulu. Kalo kita inget lagu-lagu jadul yang ngetop pada masanya, ternyata banyak juga yang punya versi bahasa asingnya. (Atau, versi asli dalam bahasa asing yang diterjemahin dengan versi Indonesia? ). Contoh, lagu dangdut Pandangan Pertama sama Terajana, ada versi Indianya. Lagu Diantara Hatiku-hatimu, ada versi Inggrisnya yang judulnya Somewhere Between.

Kalau kita masuk jaman sekarang. Pernah merhatiin lagunya Mulan yang Makhluk Tuhan Paling Seksi? Bandingin sama Toxic-nya Britney Spears. Intro lagu Sempurna-nya Andra and The Backbone, bandingin sama intronya King of Convenience-nya Simon and Art Garfunkle (penyanyi jaman 70an, tanya bokap kalo ga tau siapa itu, hehe). Terus.. masih lagunya Andra and the gank, Musnah. Bandingin bagian ending, raungan gitarnya, sama lagu Buddy Holly-nya Weezer (ngetop pertengahan 90an). Terus, lagu Nidji yang jadi soundtrack sinetron, Jangan Pernah Lupakan, sama lagu Coldplay yang Trouble. Memang semua itu ga sama persis, ga mirip banget, tapi ada nada-nada yang mengingatkan aku sama lagu-lagu pendahulunya. Dan itu hanya beberapa contoh yang kebetulan keinget, masih banyak kok yang lain…

Plagiat? Bukan. Aku tidak setuju dengan istilah yang berbau vonis itu. Menurutku, hal-hal tersebut lebih berasal dari musical influence yang mungkin (semoga) memang tidak disadari oleh para pencipta musik Indonesia sehingga kebetulan aja lagunya jadi mirip lagu barat. Tapi kalo yang lagunya jadi bahasa Indonesia sementara musiknya 100% sama, ya sebut aja musical translation service, hehe…

Dulu waktu kuliah, pernah ada topik tentang Preseden. Bukan presiden lho… Waktu itu kita disuruh menggambar ulang dan mempelajari karya-karya arsitek terkenal, kemudian bikin desain baru berdasar apa yang sudah kita pelajari. Niru, tapi dikembangin pake ide kita sendiri. Pernah aku membaca, bahwa yang namanya kreatif itu tidak selalu berarti menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Bahkan proses belajar menurut ki Hadjar Dewantara yang diterapkan di sebuah science park di Yogyakarta, Niteni Niroake Nambahi (mencermati, menirukan, menambahi) juga mengandung konsep “menirukan” dulu, baru menambahkan ide-ide kita sehingga bisa menciptakan sesuatu yang baru. Mungkin seperti itulah proses-proses yang dilalui para musisi kita.

Kembali ke musik Indonesia, menurutku para pemusik Indonesia sudah semakin pandai mencermati selera pasar dengan tetap mengembangkan kreativitas mereka berdasarkan latar belakang yang mempengaruhi mereka dalam bermusik. Bagus atau enggaknya, tergantung siapa yang menilai. Gitu aja

idenama@26 feb 08


Sekaten

Tahun ini, seperti juga tahun-tahun sebelumnya, di alun-alun utara Jogja baru digelar acara Sekaten. Dulu pas aku masih kecil, pagelaran ini selalu ditunggu sebagai sarana hiburan rakyat yang murah dan menyenangkan. Ya, dulu belum ada mall dan taman hiburan sih…

Mengenai sekaten dan asal usulnya bisa dilihat disini.

Waktu aku kecil sih sekaten identik dengan

  • arum manis

  • bolang baling

  • pentas lumba-lumba

  • kapal otok-otok yang bahan bakarnya minyak kelapa

  • tong setan

  • dremolen

  • dangdutan (dulu loooh, ga tau sekarang, hehe)

Tapi sekarang, aku lagi ingin ngobrolin sekaten itu sebagai brand. Dia punya nilai sejarah yang kuat, punya waktu pelaksanaan yang jelas, lokasinya pasti, dan dikenal banyak orang. Sebenarnya sekaten itu sangat potensial lho kalau digarap dengan baik, sebagai brand-nya Jogja.

Beberapa tahun yang lalu seperti yang kita tahu, udah ada upaya dari pemerintah daerah untuk mengangkat citra sekaten supaya “naik kelas” dengan mengemasnya dalam bentuk “expo”. Tapi kenyataannya, kurang berhasil juga…malah kata para penjual di dalamnya, pengunjung jadi semakin sepi.

Memang sih, mengaktualkan prinsip pemasaran textbook dalam dunia nyata agak sulit. Tapi kembali lagi ke hal yang paling mendasar dalam pemasaran, yang selalu terngiang di telinga (weits.. Ikke Nurjanah bangetss), “..it all begins with the consumer”.

Kira-kira nih… ada nggak ya upaya dari pihak berwenang mengenai sekaten itu, untuk mencari tahu, siapa sih pengunjung sekaten dan apa yang mereka inginkan? Misalnya aja nih, oooh ternyata.. para pengunjung sekaten itu pengen tema yang berbeda tiap tahun. Contoh, tema makanan khas jogja. Jadi sekaten itu dikemas sedemikian rupa sehingga tema makanan mendominasi arena, paling gampang untuk ngasih nama cluster-cluster atau lorong-lorong stand, walaupun isinya ga melulu makanan sih… Atau ternyata, pengunjung sekaten itu ingin sekaten dicreate menjadi Jogja mini lengkap dengan nama-nama jalan untuk menamai lorong-lorong stand (kalo yang ini sih udah pernah ada yang make idenya untuk pameran di JEC), atau apalah… Banyak yang bisa digali sebenarnya…

Jadi menurutku, manajemen pelaksanaan sekaten itu perlu digarap dengan serius. Sebuah contoh yang membuatku sangat terkesan adalah acara tahunan Tournament of Roses di Amrik sono, pada tahu kaaan.. Dulu TVRI rajin banget nayangin acara ini, apalagi waktu itu Indonesia pernah jadi peserta. Acara itu dilaksanakan sekali setahun, tempatnya selalu di Pasadena, acaranya karnaval kendaraan yang dihias bunga…gitu-gitu aja sih. Tapi liat dong pengunjungnya, banyak yang bela-belain dari luar kota bahkan luar negeri hanya untuk nonton. Dan apakah mereka dijamu dengan nyaman? Nggak juga, mereka cuma berdiri aja tuh dipinggir jalan panas-panasan… Tapi mereka tetep antusias tuh…

Memang, manajemen yang baik sangat menentukan hasil, termasuk di acara karnaval ini. Bayangkan aja, ketika karnaval tahun ini lagi berlangsung, para peserta udah mulai merancang kendaraan hiasnya untuk tahun depan, sesuai dengan tema tahun depan yang juga sudah diberikan oleh panitia.

Kalau sekaten digarap dengan tingkat keseriusan seperti itu, bisa nggak ya? Mulai dari yang sederhana dulu, identifikasi pengunjung sekaten dan pengunjung potensial. Terus bisa dilanjutin dengan jajak pendapat, mengenai keinginan mereka tentang sekaten. Terus studi banding dengan perayaan sejenis di tempat lain atau di negara lain. Ga harus kesana langsung, kan sekarang ada internet, jadi pengeluaran untuk biaya perjalanan dinas bisa ditekan ;p Sekalian aja ditunjang dengan internet (website/email) untuk kepentingan promosi keluar kota dan keluar negeri. Bisa juga sekalian untuk cari sponsor/pengisi stand dengan syarat memang sekatennya udah dibikin bagus dan layak dipromosiin. Perayaan untuk rakyat bukan berarti semua-semuanya harus digarap dengan konvensional lho… Apalagi di lokasi itu ada Keraton Yogyakarta yang merupakan warisan budaya yang penting dan sering dikunjungi wisatawan luar negeri.

Penting ga sih? ;p

idenama@26 feb 08

Tuesday, February 19, 2008

Buaya

crocodile n. 1 a large tropical amphibious reptile with thick scaly skin, a long tail, and long jaws.

alligator n. large reptile of the crocodile family with a head broader and shorter than a crocodile's.

(Pocket Oxford Dictionary, 1994)

"Lelaki buaya darat buset aku tertipu lagi…"
(Ratu)

"Buaya.. buaya.. buaya darat.. tak tau tak tau tak tau diri…"
(lupa penyanyinya, pokoke sekitar tahun 97-an ngetop banget, band yang personilnya cewek2 itu... aduh sapa si namanya...)

Itulah theme song para cewek yang sedang bermasalah dengan para cowok playboy. *Hyuuk…*

Jadi penasaran nih, kenapa ya para cowok yang banyak ceweknya disebut buaya. Aku jadi inget, punya seorang teman cowok yang dikasih gelar kehormatan “buaya” oleh teman-teman, gara-gara temen ceweknya banyak dan ganti-ganti. Tetapi, seorang teman (cowok) melakukan “pembelaan” bahwa cewek-cewek tadi hanya teman, bukan pacar. Dan si “tertuduh buaya” tidak pernah pacaran dengan lebih dari 1 orang dalam 1 waktu. Iya dehh…

Ngoms, kasian amat si binatang bernama buaya ya, apa iya sih dalam kenyataan dia termasuk binatang yang tidak setia pada satu pasangan? Padahal, kebanyakan binatang kan gitu juga. Aku pernah pelihara ayam kate, anaknya bisa kawin sama induknya. Hamster adikku juga gitu, beranak pinak dengan sukses tanpa peduli kawinnya sama siapa, hehe…

Yuk cari tahu tentang si buaya ini disini.

Kayaknya ga ada yang identik dengan cap playboy ya dalam prilaku si binatang buaya itu? Sampe sekarang aku masih belum bisa memahami istilah "buaya" untuk itu.


Ada ga yang bisa ngejelasin?

idenama@19 Feb 08

Pelanggan

customer n. 1 person who buys goods or services from a shop or business. 2 colloq. person of a specified kind (awkward customer). [Anglo-French: related to *custom]

(Pocket Oxford Dictionary, 1994)

Kata customer diterjemahkan menjadi langganan atau pelanggan, yaitu orang yang membeli barang atau jasa dari penjual/bisnis.

Mengapa tiba-tiba aku tertarik untuk membahas kata itu? Well, terus terang aku merasa tergelitik ketika membaca sebuah berita di koran hari ini. Tentang sebuah tema ulang tahun sebuah rumah sakit daerah, yang diberi tagline “Mengutamakan Mutu dan Kepuasan Pelanggan”. Mendengarnya sih aku merasa “sedikit” lega, karena sebagai orang yang tertarik dengan dunia pemasaran dan periklanan, hal itu terdengar sebagai sebuah pencerahan. Aku teringat lelucon seorang teman kantor tentang betapa mudahnya membuat slogan/tagline ketika kita adalah sebuah lembaga pemerintah, tinggal isi saja template ini “Dengan semangat hari …… (isi dengan nama peringatan dan tanggalnya) kita tingkatkan ……(tuliskan sebuah pernyataan dalam bidang yang terkait dengan hari peringatan tersebut).” Cool! Rumah sakit daerah itu membuktikan bahwa tidak semua lembaga pemerintah harus “mengisi template”…

Apalagi, RS itu juga sudah memasukkan unsur “kepuasan pelanggan”. Sebuah kesadaran dengan “rendah hati” bahwa peran pelanggan sangat penting dalam menentukan baik atau tidaknya sebuah pelayanan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak kasus ketidakpuasan pelanggan/pengguna layanan RS di Indonesia, mulai dari petugas yang “lupa” tersenyum sampai yang terparah adalah kejadian malpraktek. Secara umum, kesan yang tertangkap adalah bahwa para pelanggan adalah pihak yang sangat-sangat membutuhkan pelayanan dan RS sebagai penyedia layanan adalah pihak yang menyediakan layanan dengan .. ya.. secukupnya sajalah. Akibatnya ya… gitu deh…

Kembali lagi ke RS daerah tadi, dengan tagline itu, sadar atau tidak, dia sudah menjawab tantangan bahwa “the marketplace isn’t what it used to be”. Menurut pakde Kotler (2003), salah satu perubahan yang terjadi sekarang ini adalah bahwa pelanggan mengharapkan kualitas pelayanan yang lebih dan perlakuan khusus (customization). Tinggal implementasinya saja, mudah-mudahan memang konsekuen dengan tagline yang dimaksud.

Tetapi.. ternyata penggunaan kata “pelanggan” menimbulkan protes dari pihak dewan. Katanya sih, tagline mereka dapat menimbulkan asumsi bahwa RS itu berorientasi pada profit dan bisnis. Mereka menganggap tema itu tidak sesuai dengan semangat kemanusiaan yang biasa diusung oleh rumah sakit sebagai tempat pengobatan dan penyembuhan masyarakat. Jadi seharusnya gunakan kata “pasien”.

*Biasa? Kalau pengen yang tidak biasa, ga boleh ya? *

Rumah sakit memang tugas utamanya melayani pasien/orang yang sakit. Biasanya, orang sakit ingin diperlakukan dengan baik supaya cepat sembuh. Tapi, apakah mereka merasa punya kepentingan di RS ketika mereka sedang sehat? Selain untuk kepentingan membezuk, sepertinya RS cenderung dijauhi oleh orang yang sehat.

Misalnya, RS itu justru pengen melepaskan diri dari stereotip RS yang hanya berfungsi untuk menyembuhkan orang sakit. Boleh nggak kalo RS itu ngadain seminar ngundang dokter ahli untuk menjelaskan tentang jenis penyakit baru yang belum pernah diderita oleh masyarakat di sana, supaya mereka paham cara mencegahnya sebelum terjadi? Atau, ngadain open house buat anak-anak sekolah untuk mengenal profesi medis, siapa tau mereka tertarik untuk jadi dokter di masa depan? Atau, mengadakan lomba bayi sehat dengan sponsor untuk menyediakan hadiahnya? Atau, mengadakan program senam hamil secara reguler?

Bukankah dengan hal-hal tersebut, RS justru dapat meningkatkan eksistensinya dalam kedudukan luhur dan memiliki jiwa besar untuk mengabdi pada pelanggan..eh.. masyarakat?

idenama@19 Feb 08